Perlu diketahui bahwa pola dan proses dinamika
pembangunan ekonomi di suatu negara sangat ditentukan oleh banyak faktor, baik
internal (domestik) maupun eksternal. Faktor-faktor internal diantaranya adalah
kondisi fisik (termasuk iklim), lokasi geografi, jumlah dan kualitas sumber
daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki, kondisi awal
ekonomi, sosial, dan budaya, sistem politik, serta peranan pemerintah di dalam
ekonomi. Sedangkan faktor-faktor eksternal diantaranya adalah perkembangan
teknologi, kondisi perekonomian dan politik dunia, serta keamanan global.
Pengalaman Indonesia sedniri menunjukan bahwa pada
zaman pemerintahan orde lama rezim yang berkuasa menerapkan sistem ekonomi
tertutup (inward oriented) dan lebih mengutamakan kekuatan militer
daripada kekuatan ekonomi. Ini menyebabkan ekonomi nasional pada masa itu mengalami
stagnasi, pembangunan praktis tidak ada.
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia menyatakan
kemerdekaannya. Namun, dalam prakteknya belum bisa member perhatian sepenuhnya
pada pembangunan ekonomi karena masih belum bebas dari Belanda.
Selama pemerintahan Orde Lama, keadaan perekonomian
Indonesia sangat buruk. Misalnya dari APBN, berdasarkan data yang dihimpun oleh
Mas’oed (1989), jumlah pendapatan rata-rata pemerintah per tahun selama
1955-1965 sekitar 151juta rupiah, sedangkan besar pengeluaran pemerintah
rata-rata per tahun selama periode yang sama 359 juta rupiah atau lebih dari
100% dari rata-rata pendapatannya.
Selain itu, selama periode Orde Lama, kegiatan produksi
disektor pertanian dan sector industri manufaktur berada pada tingkat yang
sangat rendah karena keterbatasan kapasitas produksi dan infrastruktur
pendukung, baik fisik maupun nonfisik seperti pendanaan dari bank. Akibat
rendahnya volume produksi dari sisi suplai dan tingginya permintaan akibat
terlalu banyaknya uang beredar di masyarakat mengakibatkan tingginya tingkat
inflasi yang sempat mencapai lebih dari 300% menjelang akhir periode Orde Lama.
Pada zaman pemerintahan Orde Lama terdapat tiga periode,
yaitu: periode 1945-1950, periode demokrasi parlementer atau disebut juga
dengan periode demokrasi liberal (1950-1959, dan periode demokrasi terpimpin
(1959-1965). Dalam periode demokrasi parlementer terjadi perubahan cabinet
delapan (8) kali.
Kebijakan
Ekonomi pada Periode Demokrasi Parlementer :
·
Kabinet Hatta, melakukan kebijakan
ekonomi paling penting, yakni reformasi moneter melalui devaluasi mata uang
nasional.
·
Kabinet Natsir, untuk pertama
kalinya dirumuskan suatu perancangan pembangunan ekoonomi yang disebut
Rancangan Urgensi Ekonomi (RUP). RUP ini digunakan oleh kabinet berikutnya yang
merumuskan perencanaan pembangunan lima tahun (pada Orde Baru dikenal dengan
Repelita).
·
Kabinet Sukiman, menasionalisasikan
De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia (BI) dan penghapusan sistem kurs
berganda.
·
Kabinet Wilopo, untuk pertama
kalinya memperkenalkan konsep anggaran berimbang dalam APBN, memperketat impor,
melakukan “rasionalisasi” angkatan bersenjata melalui modernisasi dan
pengurangab jumlah personil, dan pengiritan pengeluaran pemerintah.
·
Kabinet Ali I, hanya ada dua langkah
konkret yang dilakukan dalam bidang ekonomi, walaupun kurang berhasil, yakni
pembatasan impor dan kebijakan uang ketat.
·
Kabinet Burhanuddin, melakukan
liberalisasi impor, kebijakan uang ketat untuk menekan laju uang beredar,
penyempurnaan Program Benteng, mengeluarkan kebijakan yang memperbolehkan modal
asing masuk ke Indonesia, pemberian bantuan-bantuan khusus kepada
pengusaha-pengusaha pribumi, dan pembatalan (secara sepihak) persetujuan
Konferensi Meja Bundar sebagai usaha untuk menghilangkan sistem ekonomi
colonial atau menghapuskan dominasi perusahaan-perusahaan Belanda dalam
perekonomian Indonesia.
·
Kabinet Ali II, mencanangkan sebuah
rencana pembangunan baru dengan nama Rencana Lima Tahun 1956-1960.
·
Kabinet Djuanda, kabinet ini
melakukan pengambilan (nasionalisasi) perusahaan-perusahaan Belanda. Kabinet
ini juga tidak bisa berbuat banyak bagi pembangunan ekonomi karena perhatian
sepenuhnya dialihkan untuk manghadapi ketidakstabilan politik dalam negeri dan
upaya pengambilan wilayah Irian Barat dari Belanda.
Keadaan ekonomi Indonesia, terutama setelah dilakukan
nasionalisasi terhadap semua perusahaan asing Belanda, menjadi lebih buruk
dibandingkan keadaan ekonomi semasa penjajahan Belanda.
Indonesia pada saat itu, sangat menentang prinsip-prinsip
individualisme, pesaingan bebas, dan adanya perusahaan swasta, karena oleh
pemerintah prinsip-prinsip tersebut sering dikaitkan dengan pemikiran
kapitalisme. Keadaan ini membuat Indonesia semakin sulit mendapatkan dana dari
negara-negara Barat, baik dalam bentuk pinjaman maupun penanaman modal asing
(PMA), sedangkan untuk membiayai rekonstruksi ekonomi dan pembangunan
selanjutnya, Indonesia sangat membutuhkan dana yang sangat besar.
Pada akhir September 1965, ketidakstabilan polyik di
Indonesia mencapai puncaknya dengan terjadinya kudeta yang gagal dari Partai
Komunis Indonesia (PKI). Sejak peristiwa tersebut terjadi suatu perubahan
politik yang drastic didalam negeri sehingga mengubah sistem ekonomi pada zaman
pemerintahan Orde Lama.
Pemerintahan
Orde Baru
Tepatnya sejak bulan Maret 1966 memasuki pemerintahan Orde
Baru. Dalam era Orde Baru, pemerintah lebih ditujukkan pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat lewat pembangunan ekonomi dan sosial di tanah air.
Pemerintahan Orde Baru menjalin hubungan baik dengan negara-negara Barat dan
menjauhi pengaruh ideologi komunis. Indonesia juga kembali menjadi anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan lembaga dunia lainnya, seperti Bank Dunia
dan Dana Moneter International (IMF).
Tujuan jangka panjang dari pembangunan ekonomi di Indonesia
pada masa Orde Baru adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui suatu
proses industrialisasi dalam skala besar.
Pada bulan April 1969 Repelita I (rencana pembangunan lima
tahun pertama) dimulai pada penekanan utama pada pembangunan sektor pertanian
dan industry-industri yang terkait, seperti agroindustri.
Dampak dari Repelita I dan repelita-repelita berikutnya
terhadap perekonomian di Indonesia cukup megagumkan, terutama dilihat pada
tingkat makro. Proses pembangunan bejalan sangat cepat dengan laju pertumbuhan
per tahun yang cukup tinggi, jauh lebih baik daripada pemerintahan Orde Lama.
Keberhasilan tersebut tidak saja disebabkan oleh kemampuan
kabinet-kabinet yang dipimpin oleh Presiden Soeharto yang lebih solid dibanding
pada masa Orde Lama, tetapi juga berkat penghasilan ekspor yang sangat besar
dari minyak, terutama pada masa krisis atau oil boom pertama pada tahun
1973/1974. Peranan PMA di Indonesia pada pertengahan dekade 1980-an juga
semakin besar.
Akan tetapi, hal-hal positif yang dibicarakan di atas tidak
mengatakan bahwa pemerintahan Orde Baru tanpa cacat. Kebijakan-kebijakan
ekonomi selama masa Orde Baru memang telah menghasilkan suatu proses
transformasi ekonomi yang pesat dan laju pertumbuhan yang tinggi, tetapi dengan
biaya ekonomi yang tinggi, serta fundamental ekonomi yang rapuh. Hal terakhir
ini dapat dilihat antara lain pada buruknya kondisi sektor perbankan
nasional dan semakin besarnya ketegantunagn Indonesia terhadap modal asing,
termasuk pinjaman dan impor. Ini semua akhirnya membuat Indonesia dilanda
krisis ekonomi besar yang diawali oleh krisis nilai tukar rupiah terhadap dolar
AS pada pertengahan tahun 1997.
Pemerintahan
Transisi
Pada tanggal 14 dan 15 Mei 1997, nilai tukar baht
Thailand terhadap dolar AS mengalami suatu goncangan hebat akibat para investor
asing mengambil keputusan ‘jual’ karena mereka para investor asing tidak
percaya lagi terhadap prospek perekonomian negara tersebut, paling tidak untuk
jangka pendek. Pemerintan Thailan meminta bantuan IMF. Pengumuman itu
mendepresiasikan nilai baht sekitar 15% hingga 20% hingga mencapai nilai
terendah, yakni 28,20 baht per dolar AS.
Apa yang terjadi di Thailand akhirnya merebet ke Indonesia
dan beberapa negara Asia lainnya. Rupiah Indonesia mulai merendah sekitar pada
bulan Juli 1997, dari Rp 2.500 menjadi Rp 2.950 per dolar AS. Nilai rupiah
dalam dolar mulai tertekan terus dan pada tanggal 13 Agustus 1997 rupiah
mencapai rekor terendah, yakni Rp 2.682 per dolar AS sebelum akhirnya ditutup
Rp 2.655 per dolar AS. Pada tahun 1998, antara bulan Januaru-Februari sempat
menembus Rp 11.000 per dolar AS dan pada bulan Maret nilai rupiah mencapai Rp
10.550 untuk satu dolar AS.
Nilai tukar rupiah terus melemah, pemerintah Orde Baru
mengambil beberapa langkah konkret, antaranya menunda proyek-proyek senilai Rp
39 Triliun dalam upaya mengimbangi keterbatasan anggaran belanja. Pada tanggal
8 Oktober 1997, pemerintah Indonesia akhirnya menyatakan secara resmi akan
meminta bantuan keuangan dari IMF.
Pada Oktober 1997, lembaga keuangan internasional itu
mengumumkan paket bantuan keuangan pada Indonesia yang mencapai 40 miliar dolar
AS. Pemerintah juga mengumumkan pencabutan izin usaha 16 bank swasta yang
dinilai tidak sehat sehinnga hal itu menjadi awal dari kehancuran perekonomian
Indonesia.
Krisis rupiah yang akhirnya menjelma menjadi krisis ekonomi
memunculkan suatu krisis politik. Pada awalnya, pemerintahan yang dipimpin
Presiden Soeharto akhirnya digantikan oleh wakilnya, yakni B.J. Habibie.
Walaupun, Soeharto sudah turun dari jabatannya tetap saja tidak terjadi
perubahan-perubahan nyata karena masih adanya korupsi,kolusi dan nepotisme
(KKN) sehingga pada masa Presiden Habibie masyarakat menyebutnya pemerintahan
transisi.
Pemerintahan Reformasi
Pada tanggal 20 Oktober 1999 menjadi akhir pemerintahan
transisi, dan awal dari pemerintahan Presiden Gus Dur. Dalam hal ekonomi,
dibandingkan tahun sebelumnya (1999), kondisi perekonomian di Indonesia mulai
menunjukkan adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PDB mulai positif dan pada tahun
2000 proses pemulihan perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi. Inflasi dan
tingkat suku bunga juga mulai rendah.
Tetapi, selama pemerintahan Gus Dur, praktis tidak ada satu
pun masalah di dalam negeri yang dapat terselesaikan dengan baik sehinnga
ketidakstabilan dalam poltik dan social yang tidak semakin surut selama
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menaikkan tingkat country
risk. Hal ini ditambah lagi dengan buruknya hubungan antara pemerintah
dengan IMF, membuat pelaku-pelaku bisnis, termasuk investor asingg, menjadi
enggan melakukan kegiatan bisnisnya di Indonesia.
Masa Pemerintahan SBY
Pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
kebijakan yang dilakukan adalah mengurangi subsidi Negara Indonesia atau
menaikkan harga Bahan Bahan Minyak (BBM), kebijakan bantuan langsung tunai
kepada rakyat miskin akan tetapi bantuan tersebut di berhentikan sampai pada
tangan rakyat atau masyarakat yang membutuhkan, kebijakan menyalurkan bantuan
dana BOS kepada sarana pendidikan yang ada di Negara Indonesia. Akan tetapi pada
pemerintahan SBY dalam perekonomian Indonesia terdapat masalah dalam kasus bank
century yang sampai saat ini belum terselesaikan bahkan sampai mengeluarkan
biaya 93 miliar untuk menyelesaikan kasus bank century ini.
Kondisi perekonomian pada masa pemerintahan SBY
mengalami perkembangan yang sangat baik. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh
pesat di tahun 2010 seiring pemulihan ekonomi dunia pasca krisis global yang
terjadi sepanjang 2008 hingga 2009.Bank Indonesia (BI) memperkirakan
pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat mencapai 5,5-6 persen pada 2010 dan
meningkat menjadi 6 - 6,5 persen pada 2011. Dengan demikian, prospek ekonomi
Indonesia akan lebih baik dari perkiraan semula.
Sementara itu, pemulihan ekonomi global berdampak
positif terhadap perkembangan sektor eksternal perekonomian Indonesia. Kinerja
ekspor nonmigas Indonesia yang pada triwulan IV - 2009 mencatat pertumbuhan
cukup tinggi yakni mencapai sekitar 17 persen dan masih berlanjut pada Januari
2010. Salah satu penyebab utama kesuksesan perekonomian Indonesia adalah
efektifnya kebijakan pemerintah yang berfokus pada disiplin fiskal yang tinggi
dan pengurangan utang negara. Masalah-masalah besar lain pun masih tetap ada.
Pertama, pertumbuhan makro ekonomi yang pesat belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat
secara menyeluruh. Walaupun Jakarta identik dengan vitalitas ekonominya yang
tinggi dan kota-kota besar lain di Indonesia memiliki pertumbuhan ekonomi yang
pesat, masih banyak warga Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Kabinet Indonesia Bersatu merupakan kabinet
pemerintahan Indonesia yang dibagi menjadi Kabinet Indonesia Bersatu jilid I
dan II. Kabinet Indonesia Bersatu jilid I yaitu merupakan bentuk pemerintahan
yang ke enam yang dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil
Presiden Muhammad Jusuf Kalla pada masa (2004 – 2009) dan presiden yang pertama
kalinya dipilih melalui sistem pemilihan umum langsung di Indonesia, sedangkan
Kabinet Indonesia Bersatu jilid II dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang
Yudoyono dan wakil presiden Dr. Boediono yang merupakan bentuk pemerintahan
yang ke tujuh pada masa (2009-2014). Kabinet Indonesia Bersatu jilid I ini
dibentuk pada tanggal 21 Oktober 2004 dan berakhir pada tahun 2009 menggantikan
kabinet gotong royong yang dipimpin Megawati dan Hamzah Haz pada 5 Desember
2005.
Dengan sistem kebijakan pemerintah SBY saat ini,
rakyat Indonesia dipaksa menanggung beban utang para bankir yang sudah kaya
lewat beragam penyunatan subsidi seperti pendidikan (BHP) dan kesehatan. Moral
bangsa kita sudah tidak ada lagi, baik rakyat yang berada di posisi atas
menegah ataupun yang bawah. Sekarang jaman Indonesia Bersatu jilid II kita
tidak bisa langsung mengetahui bagaimana kinerja pemerintah yang sekarang
karena mereka baru menjabat 2 tahun. Masih ada 2 tahun lagi untuk memperbaiki
kedepannya. Tapi melihat kondisi perekonomian Indonesia yang sekarang ini sulit
rasanya menstabilkan ekonomi seperti pada zaman pemerintahan pembangunan pada
masa Presiden Soeharto dulu. Banyak sekali masalah penting di zaman pemerintah
jilid I dan II yang hilang begitu saja tanpa tau akhir inti dan akar kemana
permasalahan itu berawal. Pemerintaan Indonesia jilid I maupun jilid II
bagaimanapun kebijakan menteri dan lain sebagainya. Kita sebagai masyarakat
hanya mengharapkan pemerintah dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara
yang akan berpengaruh pula pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat Indonesia
yang saat ini masih tidak ada perkembangannya.
Kesimpulan : Dari berbagai kasus yang kita
ketahui tentang perekonomian di Indonesia sejak orde lama hingga sekarang,
dapat di simpulkan bahwa keadaan ekonomi negara kita mengalami jatuh bangun.
Negara kita bisa mencapai pertumbuhan ekonomi yang dapat di katakan berhasil
adalah ketika pemerintahan Soeharto pada masa orde lama. Akan tetapi lambat
laun, perekonomian bangsa kita mengalami gejolak, hal ini dapat dilihat dari :
•
Pengangguran yang semakin meningkat karena lapangan pekerjaan lebih sedikit di
bandingkan dengan angkatan kerja.
• Masih ada anak-anak yang tidak bisa merasakan pendidikan. • Semakin meningkatnya para koruptor yang bebas.
• Maih memiliki hutang ke luar negeri
Kebijakan kontroversial pertama Presiden SBY adalah
mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan
ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM
dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang
mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial
kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan
BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai
masalah sosial. Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita
adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki
iklim investasi.
Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama
untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah
yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor
asing yang salahsatunya adalah revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika
semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja
juga akan bertambah. Pada pertengahan bulan Oktober 2006, Indonesia melunasi
seluruh sisa utang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka
diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan
kebijakan dalam negri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negri
kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara
penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari
35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret
2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena birokrasi
pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja
negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran.
Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang
investor dari luar negri, tapi di lain pihak kondisi dalam negeri masih kurang
kondusif. Perekonomian Indonesia Pada pemerintahan SBY perekonomian Indonesia,
menurut pengamat ekonomi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Latief
Adam, kinerja pemerintah di bidang ekonomi sepanjang satu tahun terakhir tidak
mengalami kemajuan. Ia menilai pemerintah masih bangga dengan
pencapaian-pencapaian bersifat teori yang ditulis dalam RAPBN 2011. Padahal
menurutnya yang terpenting adalah realisasi target pencapaian yang dapat
dilihat dari berkurangnya angka pengangguran dan angka kemiskinan yang ternyata
belum berhasil dilakukan pemerintah hingga sekarang.
Penganguran dan kemiskinan yang dari dahulu tidak
pernah terselesaikan masalahnya, seharusnya pemerintah harus lebih berkerja
keras untuk masalah-masalah rakyat tersebut. Beberapa faktor yang mempengaruhi
penurunan jumlah penduduk miskin antara meningkatnya penerimaan upah riil
harian buruh tani, menurunnya rata-rata harga beras nasional serta stabilnya
inflasi. Penurunan kemiskinan juga dipengaruhi oleh program pemerintah yaitu
penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk keluarga miskin. Juga adanya program
seperti Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
Sumber