Senin, 31 Maret 2014

Sejarah Perekonomian Indonesia

Perlu diketahui bahwa pola dan proses dinamika pembangunan ekonomi di suatu negara sangat ditentukan oleh banyak faktor, baik internal (domestik) maupun eksternal. Faktor-faktor internal diantaranya adalah kondisi fisik (termasuk iklim), lokasi geografi, jumlah dan kualitas sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki, kondisi awal ekonomi, sosial, dan budaya, sistem politik, serta peranan pemerintah di dalam ekonomi. Sedangkan faktor-faktor eksternal diantaranya adalah perkembangan teknologi, kondisi perekonomian dan politik dunia, serta keamanan global.

Pengalaman Indonesia sedniri menunjukan bahwa pada zaman pemerintahan orde lama rezim yang berkuasa menerapkan sistem ekonomi tertutup (inward oriented) dan lebih mengutamakan kekuatan militer daripada kekuatan ekonomi. Ini menyebabkan ekonomi nasional pada masa itu mengalami stagnasi, pembangunan praktis tidak ada.

Pemerintahan Orde Lama (1950-1996)

Pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Namun, dalam prakteknya belum bisa member perhatian sepenuhnya pada pembangunan ekonomi karena masih belum bebas dari Belanda.

Selama pemerintahan Orde Lama, keadaan perekonomian Indonesia sangat buruk. Misalnya dari APBN, berdasarkan data yang dihimpun oleh Mas’oed (1989), jumlah pendapatan rata-rata pemerintah per tahun selama 1955-1965 sekitar 151juta rupiah, sedangkan besar pengeluaran pemerintah rata-rata per tahun selama periode yang sama 359 juta rupiah atau lebih dari 100% dari rata-rata pendapatannya.

Selain itu, selama periode Orde Lama, kegiatan produksi disektor pertanian dan sector industri manufaktur berada pada tingkat yang sangat rendah karena keterbatasan kapasitas produksi dan infrastruktur pendukung, baik fisik maupun nonfisik seperti pendanaan dari bank. Akibat rendahnya volume produksi dari sisi suplai dan tingginya permintaan akibat terlalu banyaknya uang beredar di masyarakat mengakibatkan tingginya tingkat inflasi yang sempat mencapai lebih dari 300% menjelang akhir periode Orde Lama.

Pada zaman pemerintahan Orde Lama terdapat tiga periode, yaitu: periode 1945-1950, periode demokrasi parlementer atau disebut juga dengan periode demokrasi liberal (1950-1959, dan periode demokrasi terpimpin (1959-1965). Dalam periode demokrasi parlementer terjadi perubahan cabinet delapan (8) kali.


Kebijakan Ekonomi pada Periode Demokrasi Parlementer    :

·         Kabinet Hatta, melakukan kebijakan ekonomi paling penting, yakni reformasi moneter melalui devaluasi mata uang nasional.
·         Kabinet Natsir, untuk pertama kalinya dirumuskan suatu perancangan pembangunan ekoonomi yang disebut Rancangan Urgensi Ekonomi (RUP). RUP ini digunakan oleh kabinet berikutnya yang merumuskan perencanaan pembangunan lima tahun (pada Orde Baru dikenal dengan Repelita).
·         Kabinet Sukiman, menasionalisasikan De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia (BI) dan penghapusan sistem kurs berganda.
·         Kabinet Wilopo, untuk pertama kalinya memperkenalkan konsep anggaran berimbang dalam APBN, memperketat impor, melakukan “rasionalisasi” angkatan bersenjata melalui modernisasi dan pengurangab jumlah personil, dan pengiritan pengeluaran pemerintah.
·         Kabinet Ali I, hanya ada dua langkah konkret yang dilakukan dalam bidang ekonomi, walaupun kurang berhasil, yakni pembatasan impor dan kebijakan uang ketat.
·         Kabinet Burhanuddin, melakukan liberalisasi impor, kebijakan uang ketat untuk menekan laju uang beredar, penyempurnaan Program Benteng, mengeluarkan kebijakan yang memperbolehkan modal asing masuk ke Indonesia, pemberian bantuan-bantuan khusus kepada pengusaha-pengusaha pribumi, dan pembatalan (secara sepihak) persetujuan Konferensi Meja Bundar sebagai usaha untuk menghilangkan sistem ekonomi colonial atau menghapuskan dominasi perusahaan-perusahaan Belanda dalam perekonomian Indonesia.
·         Kabinet Ali II, mencanangkan sebuah rencana pembangunan baru dengan nama Rencana Lima Tahun 1956-1960.
·         Kabinet Djuanda, kabinet ini melakukan pengambilan (nasionalisasi) perusahaan-perusahaan Belanda. Kabinet ini juga tidak bisa berbuat banyak bagi pembangunan ekonomi karena perhatian sepenuhnya dialihkan untuk manghadapi ketidakstabilan politik dalam negeri dan upaya pengambilan wilayah Irian Barat dari Belanda.


Keadaan ekonomi Indonesia, terutama setelah dilakukan nasionalisasi terhadap semua perusahaan asing Belanda, menjadi lebih buruk dibandingkan keadaan ekonomi semasa penjajahan Belanda.

Indonesia pada saat itu, sangat menentang prinsip-prinsip individualisme, pesaingan bebas, dan adanya perusahaan swasta, karena oleh pemerintah prinsip-prinsip tersebut sering dikaitkan dengan pemikiran kapitalisme. Keadaan ini membuat Indonesia semakin sulit mendapatkan dana dari negara-negara Barat, baik dalam bentuk pinjaman maupun penanaman modal asing (PMA), sedangkan untuk membiayai rekonstruksi ekonomi dan pembangunan selanjutnya, Indonesia sangat membutuhkan dana yang sangat besar.

Pada akhir September 1965, ketidakstabilan polyik di Indonesia mencapai puncaknya dengan terjadinya kudeta yang gagal dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Sejak peristiwa tersebut terjadi suatu perubahan politik yang drastic didalam negeri sehingga mengubah sistem ekonomi pada zaman pemerintahan Orde Lama.

Pemerintahan Orde Baru

Tepatnya sejak bulan Maret 1966 memasuki pemerintahan Orde Baru. Dalam era Orde Baru, pemerintah lebih ditujukkan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat lewat pembangunan ekonomi dan sosial di tanah air. Pemerintahan Orde Baru menjalin hubungan baik dengan negara-negara Barat dan menjauhi pengaruh ideologi komunis. Indonesia juga kembali menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan lembaga dunia lainnya, seperti Bank Dunia dan Dana Moneter International (IMF).

Tujuan jangka panjang dari pembangunan ekonomi di Indonesia pada masa Orde Baru adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui suatu proses industrialisasi dalam skala besar.

Pada bulan April 1969 Repelita I (rencana pembangunan lima tahun pertama) dimulai pada penekanan utama pada pembangunan sektor pertanian dan industry-industri yang terkait, seperti agroindustri.
           
Dampak dari Repelita I dan repelita-repelita berikutnya terhadap perekonomian di Indonesia cukup megagumkan, terutama dilihat pada tingkat makro. Proses pembangunan bejalan sangat cepat dengan laju pertumbuhan per tahun yang cukup tinggi, jauh lebih baik daripada pemerintahan Orde Lama.

Keberhasilan tersebut tidak saja disebabkan oleh kemampuan kabinet-kabinet yang dipimpin oleh Presiden Soeharto yang lebih solid dibanding pada masa Orde Lama, tetapi juga berkat penghasilan ekspor yang sangat besar dari minyak, terutama pada masa krisis atau oil boom pertama pada tahun 1973/1974. Peranan PMA di Indonesia pada pertengahan dekade 1980-an juga semakin besar.

Akan tetapi, hal-hal positif yang dibicarakan di atas tidak mengatakan bahwa pemerintahan Orde Baru tanpa cacat. Kebijakan-kebijakan ekonomi selama masa Orde Baru memang telah menghasilkan suatu proses transformasi ekonomi yang pesat dan laju pertumbuhan yang tinggi, tetapi dengan biaya ekonomi yang tinggi, serta fundamental ekonomi yang rapuh. Hal terakhir ini dapat dilihat antara lain pada buruknya kondisi sektor perbankan  nasional dan semakin besarnya ketegantunagn Indonesia terhadap modal asing, termasuk pinjaman dan impor. Ini semua akhirnya membuat Indonesia dilanda krisis ekonomi besar yang diawali oleh krisis nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada pertengahan tahun 1997.

Pemerintahan Transisi

Pada  tanggal 14 dan 15 Mei 1997, nilai tukar baht Thailand terhadap dolar AS mengalami suatu goncangan hebat akibat para investor asing mengambil keputusan ‘jual’ karena mereka para investor asing tidak percaya lagi terhadap prospek perekonomian negara tersebut, paling tidak untuk jangka pendek. Pemerintan Thailan meminta bantuan IMF. Pengumuman itu mendepresiasikan nilai baht sekitar 15% hingga 20% hingga mencapai nilai terendah, yakni 28,20 baht per dolar AS.

Apa yang terjadi di Thailand akhirnya merebet ke Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya. Rupiah Indonesia mulai merendah sekitar pada bulan Juli 1997, dari Rp 2.500 menjadi Rp 2.950 per dolar AS. Nilai rupiah dalam dolar mulai tertekan terus dan pada tanggal 13 Agustus 1997 rupiah mencapai rekor terendah, yakni Rp 2.682 per dolar AS sebelum akhirnya ditutup Rp 2.655 per dolar AS. Pada tahun 1998, antara bulan Januaru-Februari sempat menembus Rp 11.000 per dolar AS dan pada bulan Maret nilai rupiah mencapai Rp 10.550 untuk satu dolar AS.

Nilai tukar rupiah terus melemah, pemerintah Orde Baru mengambil beberapa langkah konkret, antaranya menunda proyek-proyek senilai Rp 39 Triliun dalam upaya mengimbangi keterbatasan anggaran belanja. Pada tanggal 8 Oktober 1997, pemerintah Indonesia akhirnya menyatakan secara resmi akan meminta bantuan keuangan dari IMF.

Pada Oktober 1997, lembaga keuangan internasional itu mengumumkan paket bantuan keuangan pada Indonesia yang mencapai 40 miliar dolar AS. Pemerintah juga mengumumkan pencabutan izin usaha 16 bank swasta yang dinilai tidak sehat sehinnga hal itu menjadi awal dari kehancuran perekonomian Indonesia.

Krisis rupiah yang akhirnya menjelma menjadi krisis ekonomi memunculkan suatu krisis politik. Pada awalnya, pemerintahan yang dipimpin Presiden Soeharto akhirnya digantikan oleh wakilnya, yakni B.J. Habibie. Walaupun, Soeharto sudah turun dari jabatannya tetap saja tidak terjadi perubahan-perubahan nyata karena masih adanya korupsi,kolusi dan nepotisme (KKN) sehingga pada masa Presiden Habibie masyarakat menyebutnya pemerintahan transisi.

Pemerintahan Reformasi

Pada tanggal 20 Oktober 1999 menjadi akhir pemerintahan transisi, dan awal dari pemerintahan Presiden Gus Dur. Dalam hal ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya (1999), kondisi perekonomian di Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PDB mulai positif dan pada tahun 2000 proses pemulihan perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi. Inflasi dan tingkat suku bunga juga mulai rendah.

Tetapi, selama pemerintahan Gus Dur, praktis tidak ada satu pun masalah di dalam negeri yang dapat terselesaikan dengan baik sehinnga ketidakstabilan dalam poltik dan social yang tidak semakin surut selama pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menaikkan tingkat country risk. Hal ini ditambah lagi dengan buruknya hubungan antara pemerintah dengan IMF, membuat pelaku-pelaku bisnis, termasuk investor asingg, menjadi enggan melakukan kegiatan bisnisnya di Indonesia.

Masa Pemerintahan SBY

Pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kebijakan yang dilakukan adalah mengurangi subsidi Negara Indonesia atau menaikkan harga Bahan Bahan Minyak (BBM), kebijakan bantuan langsung tunai kepada rakyat miskin akan tetapi bantuan tersebut di berhentikan sampai pada tangan rakyat atau masyarakat yang membutuhkan, kebijakan menyalurkan bantuan dana BOS kepada sarana pendidikan yang ada di Negara Indonesia. Akan tetapi pada pemerintahan SBY dalam perekonomian Indonesia terdapat masalah dalam kasus bank century yang sampai saat ini belum terselesaikan bahkan sampai mengeluarkan biaya 93 miliar untuk menyelesaikan kasus bank century ini.

Kondisi perekonomian pada masa pemerintahan SBY mengalami perkembangan yang sangat baik. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh pesat di tahun 2010 seiring pemulihan ekonomi dunia pasca krisis global yang terjadi sepanjang 2008 hingga 2009.Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat mencapai 5,5-6 persen pada 2010 dan meningkat menjadi 6 - 6,5 persen pada 2011. Dengan demikian, prospek ekonomi Indonesia akan lebih baik dari perkiraan semula.

Sementara itu, pemulihan ekonomi global berdampak positif terhadap perkembangan sektor eksternal perekonomian Indonesia. Kinerja ekspor nonmigas Indonesia yang pada triwulan IV - 2009 mencatat pertumbuhan cukup tinggi yakni mencapai sekitar 17 persen dan masih berlanjut pada Januari 2010. Salah satu penyebab utama kesuksesan perekonomian Indonesia adalah efektifnya kebijakan pemerintah yang berfokus pada disiplin fiskal yang tinggi dan pengurangan utang negara. Masalah-masalah besar lain pun masih tetap ada. Pertama, pertumbuhan makro ekonomi yang pesat belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat secara menyeluruh. Walaupun Jakarta identik dengan vitalitas ekonominya yang tinggi dan kota-kota besar lain di Indonesia memiliki pertumbuhan ekonomi yang pesat, masih banyak warga Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Kesimpulan : Indonesia masih memerlukan banyak perbaikan. Namun apa yang telah dicapai selama ini merupakan hasil dari visi dan perencanaan pemerintahan SBY. Dapat dibayangkan hal-hal lain yang akan terjadi dalam pemerintahan yang akan berjalan untuk beberapa tahun ke depan lagi.

Kabinet Indonesia Bersatu merupakan kabinet pemerintahan Indonesia yang dibagi menjadi Kabinet Indonesia Bersatu jilid I dan II. Kabinet Indonesia Bersatu jilid I yaitu merupakan bentuk pemerintahan yang ke enam yang dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla pada masa (2004 – 2009) dan presiden yang pertama kalinya dipilih melalui sistem pemilihan umum langsung di Indonesia, sedangkan Kabinet Indonesia Bersatu jilid II dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono dan wakil presiden Dr. Boediono yang merupakan bentuk pemerintahan yang ke tujuh pada masa (2009-2014). Kabinet Indonesia Bersatu jilid I ini dibentuk pada tanggal 21 Oktober 2004 dan berakhir pada tahun 2009 menggantikan kabinet gotong royong yang dipimpin Megawati dan Hamzah Haz pada 5 Desember 2005.

Dengan sistem kebijakan pemerintah SBY saat ini, rakyat Indonesia dipaksa menanggung beban utang para bankir yang sudah kaya lewat beragam penyunatan subsidi seperti pendidikan (BHP) dan kesehatan. Moral bangsa kita sudah tidak ada lagi, baik rakyat yang berada di posisi atas menegah ataupun yang bawah. Sekarang jaman Indonesia Bersatu jilid II kita tidak bisa langsung mengetahui bagaimana kinerja pemerintah yang sekarang karena mereka baru menjabat 2 tahun. Masih ada 2 tahun lagi untuk memperbaiki kedepannya. Tapi melihat kondisi perekonomian Indonesia yang sekarang ini sulit rasanya menstabilkan ekonomi seperti pada zaman pemerintahan pembangunan pada masa Presiden Soeharto dulu. Banyak sekali masalah penting di zaman pemerintah jilid I dan II yang hilang begitu saja tanpa tau akhir inti dan akar kemana permasalahan itu berawal. Pemerintaan Indonesia jilid I maupun jilid II bagaimanapun kebijakan menteri dan lain sebagainya. Kita sebagai masyarakat hanya mengharapkan pemerintah dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara yang akan berpengaruh pula pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat Indonesia yang saat ini masih tidak ada perkembangannya.

Kesimpulan : Dari berbagai kasus yang kita ketahui tentang perekonomian di Indonesia sejak orde lama hingga sekarang, dapat di simpulkan bahwa keadaan ekonomi negara kita mengalami jatuh bangun. Negara kita bisa mencapai pertumbuhan ekonomi yang dapat di katakan berhasil adalah ketika pemerintahan Soeharto pada masa orde lama. Akan tetapi lambat laun, perekonomian bangsa kita mengalami gejolak, hal ini dapat dilihat dari :

• Kemiskinan di negara kita semakin meningkat.
• Pengangguran yang semakin meningkat karena lapangan pekerjaan lebih sedikit di bandingkan dengan angkatan kerja.
• Masih ada anak-anak yang tidak bisa merasakan pendidikan.
• Semakin meningkatnya para koruptor yang bebas.
• Maih memiliki hutang ke luar negeri

Kebijakan kontroversial pertama Presiden SBY adalah mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial. Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi.

Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor asing yang salahsatunya adalah revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah. Pada pertengahan bulan Oktober 2006, Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran.

Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak kondisi dalam negeri masih kurang kondusif. Perekonomian Indonesia Pada pemerintahan SBY perekonomian Indonesia, menurut pengamat ekonomi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Latief Adam, kinerja pemerintah di bidang ekonomi sepanjang satu tahun terakhir tidak mengalami kemajuan. Ia menilai pemerintah masih bangga dengan pencapaian-pencapaian bersifat teori yang ditulis dalam RAPBN 2011. Padahal menurutnya yang terpenting adalah realisasi target pencapaian yang dapat dilihat dari berkurangnya angka pengangguran dan angka kemiskinan yang ternyata belum berhasil dilakukan pemerintah hingga sekarang.

Penganguran dan kemiskinan yang dari dahulu tidak pernah terselesaikan masalahnya, seharusnya pemerintah harus lebih berkerja keras untuk masalah-masalah rakyat tersebut. Beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan jumlah penduduk miskin antara meningkatnya penerimaan upah riil harian buruh tani, menurunnya rata-rata harga beras nasional serta stabilnya inflasi. Penurunan kemiskinan juga dipengaruhi oleh program pemerintah yaitu penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk keluarga miskin. Juga adanya program seperti Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).



Sumber






Tidak ada komentar:

Posting Komentar