Minggu, 20 April 2014

TOKOH EKONOMI ISLAM


ABU YUSUF

Ya’qub bin Ibrahim bin Habib bin Khunais bin Sa’ad Al-Anshari Al-Jalbi Al-Kufi Al-Baghdadi, atau yang lebih dikenal sebagai Abu Yusuf, lahir di Kufah pada tahun 113 H (731 M) dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 182 H (798 M). Dari nasab ibunya, ia masih mempunyai hubungan darah dengan salah seorang sahabat Rasulullah SAW., Sa’ad Al-Anshari.Abu Yusuf menimba berbagai ilmu kepada banyak ulama besar.Berkat bimbingan para gurunya serta ditunjang oleh ketekunan dan kecerdasannya, Abu Yusuf tumbuh sebagai seorang alim yang sangat dihormati oleh berbagai kalangan, baik ulama, penguasa maupun masyarakat umum. Tidak jarang berbagai pendapatnya dijadikan acuan dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan tidak sedikit orang yang ingin belajar kepadanya.

Kekuatan utama pemikiran Abu Yusuf adalah dalam masalah keuangan publik. Dengan daya observasi dan analisisnya yang tinggi. Abu Yusuf menguraikan masalah keuangan dan menunjukkan beberapa kebijakan yang harus diadopsi bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Terlepas dari berbagai prinsip perpajakan dan pertanggungjawaban negara terhadap kesejahteraan rakyatnya, ia memberikan beberapa saran tentang cara-cara memperoleh sumber perbelanjaan untuk pembangunan jangka panjang, seperti membangun jembatan dan bendungan serta menggali saluran-saluran besar dan kecil.



NEGARA DAN AKTIVISIS EKONOMI
Berikut ini adalah beberapa pemikiran Abu Yusuf tentang aktivitas ekonomi negara yang dapat mensejahterakan rakyatnya, yaitu :
1. Untuk pengadaan fasilitas infrastruktur, negara bertanggung jawab untuk memenuhinya agar dapat meningkatkan produktivitas tanah, kemakmuran rakyat serta pertumbuhan ekonomi. Semua biaya yang dibutuhkan bagi pengadaan proyek publik, seperti pembangunan tembok dan bendungan, harus ditanggung oleh negara. Namun jika proyek tersebut hanya menguntungkan suatu kelompok tertentu, biaya proyek akan dibebankan kepada mereka sepantasnya, pernyataan ini tampak terlihat ketika ia mengomentari proyek pembersihan kanal-kanal pribadi.
2. Untuk mengimplementasikan berbagai kebijakan ekonomi yang dapat mensejahterakan rakyat, negara membutuhkan administrasi yang efisien dan jujur serta disiplin moral yang tegas dan rasa tanggung jawab dalam menunjuk para pejabatnya. Abu Yusuf menyarankan agar negara menunjuk pejabat yang jujur dan amanah dalam berbagai tugas. Ia mengecam keras perlakuan kasar terhadap para pembayar pajak oleh petugas pajak dan menganggapnya sebagai tindakan kriminal.Ia juga berpendapat bahwa perlakuan yang adil dan jujur terhadap para pembayar pajak tanpa penindasan memiliki dampak yang bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan pendapatan pajak.
3.  Negara harus memberikan upah dan jaminan di masa pensiun kepada mereka dan keluarganya yang berjasa dalam menjaga wilayah kedaulatan Islam atau mendatangkan sesuatu yang baik dan bermanfaat bagi kaumnya
4. Abu Yusuf memberikan saran tentang berbagai kebijakan yang harus digunakan oleh negara untuk meningkatkan hasil tanah dan pertumbuhan ekonomi.Menurutnya, pemertintah berkewajiban untuk membersihkan kanal-kanal dan membangun lagi yang baru.Pemerintah juga harus membangun bendungan untuk meningkatkan produktivitas tanah dan pendapatan negara.
5. Semua jenis tanah mati dan tak bertuan harus diberikan kepada seseorang yang dapat mengembangkan dan menanaminya serta membayar pajak yang diterapkan pada tanah tersebut. Tindakan seperti ini akan membuat negara berkembang dan pajak pendapatan akan meningkat.
6. Untuk meningkatkan kesejahteraan umum dan menjamin pemanfaatan sumber-sumber sepenuhnya, sumber daya seperti air, rumput, dan sebagainya tidak boleh dibatasi pada individu tertentu, tetapi harus disediakan secara gratis bagi semua.
7. Dalam hal pendistribusian pendapatan negara, hendaknya hal tersebut ditujukan demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Karena alquran sendiri telah memerintahkan agar pendistribuasian harta dilakukan secara adil dan tidak menumpuk di tangan segelintir orang.
8. Menurut Abu Yusuf pembangunan sistem ekonomi dan politik, mutlak dilaksanakan secara transparan, karena asas transparan dalam ekonomi merupakan bagian yang paling penting guna mencapai perwujudan ekonomi yang adil dan manusiawi.
Pengaturan pengeluaran negara, baik berkait dengan Insidental Revenue (Ghanimah dan Fai’) maupun Permanent Revenue (Kharaj, Jizyah, Ushr, dan Shadaqah/Zakat) dijelaskan secara transparan pengalokasiannya kepada masyarakat, terutama kaitannya dengan fasilitas publik.
Transparansi ini terwujud dalam peran dan hak asasi masyarakat dalam menyikapi tingkah laku dan kebijakan ekonomi, baik yang berkenaan dengan nilai-nilai keadilan (al-Adalah), kehendak bebas (al-Ikhtiyar), keseimbangan (al-Tawazun), dan berbuat baik (al-Ikhsan).

KEUANGAN PUBLIK
Dikatakan Abu Yusuf bahwa ghaminah (segala sesuatu yang dikuasai oleh kaum muslim dari harta orang kafir melalui peperangan) merupakan sumber pemasukan Negara.Pemasukan dari ghanimah tetap ada dan menjadi bagian yang penting dalam keuangan publik.Akan tetapi, karena sifatnya yang tidak rutin, maka pos ini dapat digolongkan sebagai pemasukan yang tidak tetap bagi Negara.
Pajak
Menurut Abu Yusuf, berikut adalah tanah yang wajib dikenai pajak antara lain :
1. Wilayah lain (di luar Arab) di bawah kekuasaan Islam
·         Wilayah yang diperoleh melalui peperangan.
·         Wilayah yang diperoleh melalui perjanjian damai.
·         Wilayah yang dimiliki muslim diluar Arab. (mebayarUsyr)
2. Wilayah yang berada di bawah perjanjian damai
·           Penduduk yang kemudian masuk Islam (membayar Usyr)
·           Penduduk yang tidak memeluk Islam (membayar Kharaj)
3. Tanah taklukan
·      Penduduk yang masuk Islam sebelum kekalahan, maka tanah yang mereka miliki akan tetap menjadi milik mereka dan harus membayar Usyr.
·      Tanah taklukan tidak diserahkan dan tetap dimiliki dzimmi, maka wajib membayar Kharaj
·      Tanah yang dibagikan kepada para pejuang, maka tanah tersebut dipungut Usyr.
·      Tanah yang ditahan Negara, maka kemungkinan jenis pajaknya adalah Usyr dan Kharaj.


Zakat
Diantara objek pajak yang menjadi perhatiannya adalah : pertama, zakat pertanian. Jumlah pembayaran zakat pertanian adalah sebesar usyr yaitu 10% dan 5%, tergantung dari jenis tanah dan irigasi. Yang termasuk kategori tanah ‘usryiyah menurut Abu Yusuf adalah :
1. Lahan yang termasuk jazirah arab, meliputi hijaz, makkah, madinah dan yaman.
2. Tanah tandus / mati yag dihidupkan kembali oleh orang islam.
3. Setiap tanah taklukan yang dibagikan kepada tentara yang ikut berperang, seperti kasus tanah khaibar
4. Tanah yang diberikan kepada orang islam, seperti tanah yang dibagikan melalui institusi iqta kepada orang-orang yang berjasa bagi Negara.
5. Tanah yang dimiliki oleh orang islam dari Negara, seperti tanah sebelumnya dimiliki oleh raja-raja Persia dan keluarganya, atau tanah yang ditinggalkan oleh musuh yang terbunuh atau melahirkan diri dari peperagan.
Kedua, objek zakat yang menjadi perhatiannya adalah zakat dari hasil mineral atau barang tambang lainnya.Abu yusuf dan ulama hanafiyah berpendapat bahwa standar zakat untuk barang-barang tersebut, tarifnya seperti ganimah 1/5 atau 20% dari total produksi.
Faiy'
Faiy’ adalah segala sesuatu yag dikuasai kaum muslimin dari harta orang kafir tanpa peperangan, temasuk harta yang mengikutinya, yaitu kharaj tanah tersebut, jizyah perorangan dan usyr dari perdagangan.
Semua harta faiy’ dan harta- harta yang mengikutinya berupa kharaj, jizyah dan usyr merupaka harta yang boleh dimanfaatkan oleh kaum muslimin dan disimpan dalam Bait Al-Mal, semuanya termasuk kategori pajak dan merupakan sumber pendapatan tetap bagi Negara, harta tersebut dapat dibelanjakan untuk memelihara dan mewujudkan kemaslahatan Umat.
Usyr (Bea Cukai)
Usyr merupakan hak kaum muslim yang diambil dari harta perdagangan ahl jimmah dan penduduk kaum harbi yang melewati perbatasan Negara islam. Usyr dibayar dengan cash atau barang. Abu yusuf, melaporka bahwa abu musa al- as’ari, salah seorang gurbernur, pernah menulis kepada khalifah umar bahwa para pedagang muslim dikenakan bea dengan tarif sepersepuluh di tanah – tanah harbi. Khalifah umar menasehatinya untuk melakuka tiga hal yang sama dengan menarik bea dari mereka seperti yang mereka lakukan kepada pedagang muslim.
 
TEORI PERPAJAKAN
1. Penggantian Sistem Misahah menjadi sistem Muqasamah
Dalam hal perpajakan, Abu Yusuf telah meletakkan prinsip-prinsip yang jelas yang berabad-abad kemudian dikenal oleh para ahli ekonomi sebagai canons of taxation. Kesanggupan membayar, pemberian waktu yang longar bagi pembayar pajak dan sentralisasi pembuatan keputusan dalam administrasi pajak adalah beberapa prinsip yang ditekankannya.
Dalam hal penetapan pajak ini, Abu Yusuf cenderung menyetujui negara mengambil bagian hasil pertanian para penggarap daripada menarik sewa dari lahan pertanian. Menurutnya, cara ini lebih adil dan tampaknya akan memberikan hasil produksi yang lebih besar dengan memberikan kemudahan dalam memperluas tanah garapan. Dengan kata lain, ia lebih merekomendasikan penggunaan sistem Muqasamah (Proporsional Tax) daripada Misahah (Fixed Tax) yang telah berlaku sejak masa Khalifah Umar hingga periode awal pemerintahan Dinasti Abbasiyah.
Menurut Abu Yusuf, kondisi keungan yang ada menuntut perubahan sistem Misahah yang sudah tidak relevan di masa hidupnya. Ia menunjukkan bahwa pada masa pemerintahan Khalifah Umar, ketika sistem Misahah digunakan, sebagian besar tanah dapat ditanami dan hanya sebagian kecil tanah yang tidak bisa ditanami. Wilayah yang ditanami bersama sebagian kecil yang tidak ditanami diklasifikasikan menjadi satu kategori dan kharaj juga dikumpulkan dari tanah yang tidak ditanami.

Di sisi lain, Abu Yusuf melihat bahwa pada masanya ada wilayah yang tidak ditanami selama ratusan tahun dan para petani tidak mempunyai kemampuan untuk menghidupkannya. Dalam situasi demikian, pajak yang menetapkan ukuran panen yang pasti atau jumlah uang tunai yang pasti akan membebani para pembayar pajak dan hal itu dapat mengganggu kepentingan keuangan publik.
Argumen Abu Yusuf tersebut menunjukkan bahwa jumlah pajak yang pasti berdasarkan ukuran tanah (baik yang ditanami ataupun tidak) dibenarkan hanya jika tanah tersebut subur. Oleh karena itu, tidak dibenarkan untuk membebani pajak yang pasti tanpa mempertimbangkan kesuburan tanah tersebut, mengingat yang demikian itu akan mempengaruhi para pemilik tanah yang tidak subur.
Argumen kedua dan yang paling utama dalam menentang sistem Misahah adalah tidak adanya ketentuan apakah pajak dikumpulkan dalam jumlah uang atau barang tertentu. Kecenderungan perubahan harga gandum pada masa itu membuat cemas para pembayar pajak dan penguasa. Abu Yusuf menyadari sepenuhnya dampak perubahan harga terhadap para pembayar pajak dan pendapatan pemerintah apabila sistem Misahah diterapkan dan tarif yang pasti dikenakan, baik dalam bentuk sejumlah uang tertentu maupun sejumlah barang tertentu.
Perpajakan dengan menggunakan sistem Misahah, ketika pajak dipungut dalam bentuk uang atau barang, memiliki implikasi yang serius, baik terhadap pemerintah maupun petani. Konsekuensinya, ketika terjadi fluktuasi harga bahan makanan, antara perbendaharaan negara dengan para petani akan saling memberikan pengaruh yang negatif. Alasan yang diberikan oleh Abu Yusuf dalam menentang sistem Misahah menunjukkan perhatiannya terhadap penerapan prinsip-prinsip keadilan dan efisiensi dalam pengumpulan pajak. Di samping itu, hal tersebut menunjukkan perhatiannya terhadap kriteria pendapatan pada saat terjadi perubahan harga-harga bahan makanan. Menurutnyam sistem Muqasamah bebas dari fluktuasi harga.
Abu Yusuf menekankan bahwa metode penetapan pajak secara proporsional dapat meningkatkan pendapatan negara dari pajak tanah dan di sisi lain, mendorong petani itu meningkatkan produksinya.
Oleh karena itu, Abu Yusuf sangat merokemendasikan penyediaan fasiltas infrastruktur bagi para petani. Dalam sistem Misahah, peningkatan produktivitas tidak akan menguntungkan negara. Dalam Muqasamah, peningkatan dalam prduktivitas akan menguntungkan keuangan negara dan pembayar pajak sekaligus. Dukungannya terhadap penggunaan sistem Muqasamah dalam hal penetapan pajak mengindikasikan bahwa Abu Yusuf lebih mengutamakan hasil daripada tanah itu sendiri sebagai dasar pajak.
2. Membangun Fleksibiltas Sosial
Selain menggolongkan tingakat pembayaran pajak berdasarkan sifat tanah, Abu Yusuf juga membangun fleksibilitas sosial dalam hal pajak. Karena pada saat itu, ketika konsep agama dan negara dihadapkan dengan masalah muslim dan non-muslim. Diantara masalah tersebut adalah warga non-muslim yang diwajibkan membayar pajak sedangkan warga muslim tidak diharuskan. Islam hanya mengakui warga muslim yang mendapat kepastian hukum penuh, sedangkan non-muslim tidak. Abu Yusuf dalam hal ini menyikapi perlakuan terhadap tiga kelompok yang dianggap tidak mempunyai kapasitas hukum secara penuh, yaitu kelompok Harbi, Musta’min, dan Zimmi.
Ketiga kelompok ini mendapat perhatian khusus dalam pandangan Abu Yusuf, dengan memberi pemahaman keseimbangan dan persamaan hak terhadap mereka di tengah sesuai status kewarganegaraan, sistem perekonomian dan perdagangan, serta ketentuan hukum lainnya.Perhatian khusus tersebut diantaranya terlihat dalam mekanisme penetapan pajak Jizyah terhadap mereka.
3. Penghentian Praktik Sistem Qabalah
Terhadap administrasi keuangan, Abu Yusuf mempunyai pandangan berdasarkan pengalaman praktis tentang administrasi pajak dan dampaknya terhadap ekonomi. Penekanannya pada sifat administrasi pajak berpusat pada penilainnya yang kritis terhadap lembaga Qabalah, yaitu sistem pengumpulan pajak pertanian dengan cara ada pihak yang menjadi penjamin serta membayar secara lumpsum kepada negara dan, sebagai imbalannya, penjamin tersebut memperoleh hak untuk mengumpulkan kharaj dari para petani yang menyewa tanah tersebut, tentu dengan pembayaran sewa yang lebih tinggi daripada sewa yang diberikan negara.
Abu Yusuf meminta agar pemerintah segera menghentikan praktik sitem Qabalah tersebut karena pengumpulan pajak yang dilakukan secara langsung, tanpa keberadaan pihak penjamin, akan mendatangkan pemasukan yang lebih besar. Menurutnya, agar dapat memperoleh keuntungan dari kontrak qabalah, biasanya pihak penjamin mengenakan pajak yang melebihi kemampuan para petani.
Penolakan Abu Yusuf tersebut disebabkan sistem Qabalah bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan dan mengabaikan kemampuan membayar. Dalam menejar keuntungan, para penjamin biasanya memberikan beban tambahan terhadap para petani dengan menerapkan beban ilegal yang melampaui batas kemampuan mereka. Dengan menerapkan pandangan analitis dan logika hukumnya, Abu Yusuf berpendapat bahwa perlakuan kasar terhadap para petani dan pengenaan pajak ilegal mereka tidak saja akan merusak produksi pertanian, tetapi juga pendapatan negara yang mayoritas berasal dari pajak kharaj.
Bagi Abu Yusuf, tindakan para penjamin yang mengenakan pajak melebihi dari kemampuan para petani akan memaksa para petani meninggalkan lahan mereka karena tidak memperoleh keuntungan dari pertanian. Oleh karena sistem Qabalah dapat menimbulkan tidak eksplotatif dan penindasan terhadap para petani serta menyebabkan efek negatif terhadap pendapatan pajak, Abu Yusuf mendesak pemerintah menghentikan praktik tersebut, sehingga pajak dapt dipungut langsung dengan cara yang adil, tanpa perantara para penjamin.
Abu Yusuf menegaskan penentangannya terhadap pengenaan tingkat pajak yang berbeda-beda yang dilakukan oleh para pemungut pajak. Oleh karena itu, ia menyatakan secara pasti bahwa tidak ada seorang administrator pajak pun yang diberi wewenang untuk membebaskan seseorang dari kewajiban kharaj tanpa memiliki kewenangan umum untuk melakukannya. Meskipun menekankan perlunya suatu administrasi pajak yang efisien dan jujur, Abu Yusuf menyarankan agar dilakukan penyelidikan terhadap perilaku para pemungut pajak.
4. Keadilan dan Efisiensi Administrasi Pajak
Di samping itu, untuk melindungi keuntungan para pembayar pajak dan menjamin pendapatan Negara, Abu Yusuf meminta kepada pemerintah untuk melakukan survey secara tepat terhadap tanah dan nilai barang yang dikenai pajak. Ia berpendapat, pajak harus ditentukan dengan jelas dan tidak berdasarkan dugaan.
Untuk mencapai prinsip keadilan dalam administrasi pajak, Abu Yusuf menyarankan agar para penguasa membedakan antara tanah yang tandus dengan tanah yang subur. Selain itu, untuk menjamin efisiensi dalam pemungutan pajak, ia menyarankan agar pajak dipungut tanpa penundaan karena akan menimbulkan kerusakan pada hasil pertanian yang berarti dapat memberikan efek negatif terhadap negara, pembayar pajak serta memperlambat perkembangan pertanian.
Di sini, Abu Yusuf memberikan perhatian tentang efisiensi dalam administrasi pajak untuk menjamin barang-barang yang dapat dikenai pajak. Fakta menunjukkan bahwa defisiensi dan mismanagement yang dilakukan oleh sebagian para pemungut pajak akan merusak hasil panen dan mengurangi pendapatan pajak Negara. Dalam hal terjadi instabilitas harga-harga bahan makanan, Abu Yusuf menyarankan agar bahan makanan dijual dan harganya dibagi secara proporsional, sehingga tidak berdampak negatif terhadap para pembayar pajak dan perbendaharaan negara.

D. Mekanisme Harga
Abu Yusuf tercatat sebagai ulama terawal yang mulai menyinggung mekanisme pasar. Ia misalnya memperhatikan peningkatan dan penurunan produksi dalam kaitannya dengan perubahan harga.
Fenomena yang terjadi pada masa Abu Yusuf adalah, ketika terjadi kelangkaan barang maka harga akan cenderung lebih tinggi, sedangkan pada saat barang tersebut melimpah, maka harga cenderung untuk turun atau lebih rendah.
Dengan kata lain, pemahaman pada zaman Abu Yusuf tentang hubungan antara harga dan kuantitas hanya memperhatikan kurva demand. Fenomena umum inilah yang kemudian dikritisi oleh Abu Yusuf.



Dalam literatur kontemporer, fenomena yang berlaku pada masa Abu Yusuf dapat dijelaskan dalam teori permintaan.Teori ini menjelaskan hubungan antara harga dengan banyaknya quantity yang diminta.
Pengaruh harga terhadap jumlah permintaan suatu komoditi adalah negatif, apabila P   maka Q   begitu sebaliknya apabila P  maka Q  . Kita dapat menyimpulkan bahwa hukum permintaan menyatakan bila harga komoditi naik maka akan direspon oleh penurunan jumlah komoditi yang dibeli. Begitu juga apabila harga komoditi turun maka akan direspon oleh konsumen dengan jumlah komoditi yang dibeli.
Abu Yusuf membantah pemahaman seperti ini, karena pada kenyataannya tidak selalu terjadi bahwa bila persediaan barang sedikit maka harga harga akan mahal, dan bila persediaan barang melimpah, harga akan murah. Ia menyatakan,
“Kadang-kadang makanan berlimpah, tetapi mahal dan kadang-kadang makanan sangat sedikit tetapi murah”





Menurut Abu Yusuf, dapat saja harga-harga tetap mahal (P3) ketika persediaan barang melimpah (Q3), sementara harga akan murah walaupun persediaan barang berkurang (Q3). Dari pernyataan tersebut tampaknya Abu Yusuf menyangkal pendapat umum mengenai hubungan tebalik antara persediaan barang (supply) dan harga, karena pada kenyataannya harga tidak bergantung pada permintaan saja, tetapi juga bergantung pada kekuatan penawaran.Oleh karena itu peningkatan atau penurunan harga tidak selalu berhubungan dengan peningkatan atau penurunan permintaan, atau penurunan atau peningkatan dalam produksi. Abu Yusuf menyatakan,
“Tidak ada batasan tertentu tentang murah dan mahal yang dapat dipastikan.Hal tersebut ada yang mengaturnya.Prinsipnya tidak bisa diketahui.Murah bukan karena melimpahnya makanan, demikian juga mahal tidak disebabkan karena kelangkaan makanan, murah dan mahal merupakan ketentuan Allah.”
Dalam hukun penawaran terhadap barang dikatakan bahwa hubungan antara harga dengan banyaknya komoditi yang ditawarkan mempunyai kemiringan positif. Pengaruh harga terhadap jumlah permintaan suatu komoditi adalah positif, apabila apabila P   maka Q   begitu sebaliknya apabila P  maka Q  . Kita dapat menyimpulkan bahwa hukum penawaran mengatakan bila harga harga komoditi naik maka akan direspon oleh penambahan jumlah komoditi yang ditawarkan. Begitu juga apabila harga komoditi turun maka akan direspon oleh penurunan jumlah komoditi yang ditawarkan.
Di lain pihak Abu Yusuf juga menegaskan bahwa ada beberapa variabel lain yang mempengaruhi, tetapi dia tidak menjelaskan lebih rinci. Bisa jadi variabel itu adalah pergeseran dalam permintaan atau jumlah uang yang beredar di suatu negara, atau penimbunan dan penahanan barang, atau semua hal tersebut.
Karena Abu Yusuf tidak membahas lebih rinci apa yang disebutkannya sebagai variabel lainm ia tidak menghubugkan fenomena yang diobservasinya terhadap perubahan dalam penawaran uang. Namun, pernyataannya itu tidak menyangkal pengaruh dari permintaan dan penawaran dalam penentuan harga. Menurut beberapa pengamat, ucapan Abu Yusuf tersebut harus diterima sebagai pernyataan hasil pengamatannya saat itu, yakni keberadaan yang bersamaan antara melimpahnya barang dan tingginya harga serta kelangkaan barang dan harga rendah.
Poin kontroversial lain dalam análisis ekonomi Abu Yusuf ialah pada masalah pengendalian harga (ta’sir). Ia menentang penguasa yang menetapkan harga. Argumennya didasarkan [ada hasits Rasullullah SAW,
“Pada masa Rasulullah SAW, harga-harga melambung tinggi.Para sahabat mengadu kepada Rasulullah dan memintanya agar melakukan penetapan harga. Rasulullah SAW bersabda, tinggi-rendahnya harga barang merupakan bagian dari ketentuan Allah, kita tidak bisa mencampuri urusan dan ketetapan-Nya”
       Penting diketahui, para penguasa pada periode itu umumnya memecahkan masalah kenaikan harga dengan menambah suplai bahan makanan dan mereka menghindari control harga. Kecenderungan yang ada dalam pemikiran ekonomi Islam adalah membersihkan pasar dari praktik penimbunan, monopoli, dan praktik korup lainnya dan kemudian membiarkan penentuan harga kepada kekuatan permintaan dan penawaran. Abu Yusuf tidak dikecualikan dalam hal kecenderungan ini.

Sumber :

http://www.academia.edu/4962055/BAB_I-III_SPEI_ABU_YUSUF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar