ABU YUSUF
Ya’qub
bin Ibrahim bin Habib bin Khunais bin Sa’ad Al-Anshari Al-Jalbi Al-Kufi
Al-Baghdadi, atau yang lebih dikenal sebagai Abu Yusuf, lahir di Kufah pada
tahun 113 H (731 M) dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 182 H (798 M).
Dari nasab ibunya, ia masih mempunyai hubungan darah dengan salah seorang
sahabat Rasulullah SAW., Sa’ad Al-Anshari.Abu Yusuf menimba berbagai ilmu kepada banyak ulama
besar.Berkat bimbingan para gurunya serta ditunjang oleh ketekunan dan
kecerdasannya, Abu Yusuf tumbuh sebagai seorang alim yang sangat dihormati oleh
berbagai kalangan, baik ulama, penguasa maupun masyarakat umum. Tidak jarang
berbagai pendapatnya dijadikan acuan dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan
tidak sedikit orang yang ingin belajar kepadanya.
Kekuatan utama pemikiran Abu Yusuf adalah dalam masalah
keuangan publik. Dengan daya observasi dan analisisnya yang tinggi. Abu Yusuf
menguraikan masalah keuangan dan menunjukkan beberapa kebijakan yang harus
diadopsi bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Terlepas dari
berbagai prinsip perpajakan dan pertanggungjawaban negara terhadap
kesejahteraan rakyatnya, ia memberikan beberapa saran tentang cara-cara
memperoleh sumber perbelanjaan untuk pembangunan jangka panjang, seperti
membangun jembatan dan bendungan serta menggali saluran-saluran besar dan
kecil.
NEGARA DAN AKTIVISIS EKONOMI
Berikut ini adalah beberapa pemikiran Abu Yusuf tentang
aktivitas ekonomi negara yang dapat mensejahterakan rakyatnya, yaitu :
1. Untuk
pengadaan fasilitas infrastruktur, negara bertanggung jawab untuk memenuhinya
agar dapat meningkatkan produktivitas tanah, kemakmuran rakyat serta
pertumbuhan ekonomi. Semua biaya yang dibutuhkan bagi pengadaan proyek publik,
seperti pembangunan tembok dan bendungan, harus ditanggung oleh negara. Namun
jika proyek tersebut hanya menguntungkan suatu kelompok tertentu, biaya proyek
akan dibebankan kepada mereka sepantasnya, pernyataan ini tampak terlihat
ketika ia mengomentari proyek pembersihan kanal-kanal pribadi.
2. Untuk
mengimplementasikan berbagai kebijakan ekonomi yang dapat mensejahterakan
rakyat, negara membutuhkan administrasi yang efisien dan jujur serta disiplin
moral yang tegas dan rasa tanggung jawab dalam menunjuk para pejabatnya. Abu
Yusuf menyarankan agar negara menunjuk pejabat yang jujur dan amanah dalam
berbagai tugas. Ia mengecam keras perlakuan kasar terhadap para pembayar pajak
oleh petugas pajak dan menganggapnya sebagai tindakan kriminal.Ia juga
berpendapat bahwa perlakuan yang adil dan jujur terhadap para pembayar pajak
tanpa penindasan memiliki dampak yang bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi dan
meningkatkan pendapatan pajak.
3. Negara harus memberikan upah dan jaminan di
masa pensiun kepada mereka dan keluarganya yang berjasa dalam menjaga wilayah
kedaulatan Islam atau mendatangkan sesuatu yang baik dan bermanfaat bagi
kaumnya
4. Abu Yusuf memberikan saran tentang
berbagai kebijakan yang harus digunakan oleh negara untuk meningkatkan hasil
tanah dan pertumbuhan ekonomi.Menurutnya, pemertintah berkewajiban untuk
membersihkan kanal-kanal dan membangun lagi yang baru.Pemerintah juga harus membangun bendungan untuk
meningkatkan produktivitas tanah dan pendapatan negara.
5. Semua jenis
tanah mati dan tak bertuan harus diberikan kepada seseorang yang dapat
mengembangkan dan menanaminya serta membayar pajak yang diterapkan pada tanah
tersebut. Tindakan seperti ini akan membuat negara berkembang dan pajak
pendapatan akan meningkat.
6. Untuk
meningkatkan kesejahteraan umum dan menjamin pemanfaatan sumber-sumber
sepenuhnya, sumber daya seperti air, rumput, dan sebagainya tidak boleh
dibatasi pada individu tertentu, tetapi harus disediakan secara gratis bagi
semua.
7. Dalam hal
pendistribusian pendapatan negara, hendaknya hal tersebut ditujukan demi
mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Karena alquran sendiri telah memerintahkan
agar pendistribuasian harta dilakukan secara adil dan tidak menumpuk di tangan
segelintir orang.
8. Menurut Abu
Yusuf pembangunan sistem ekonomi dan politik, mutlak dilaksanakan secara
transparan, karena asas transparan dalam ekonomi merupakan bagian yang paling
penting guna mencapai perwujudan ekonomi yang adil dan manusiawi.
Pengaturan
pengeluaran negara, baik berkait dengan Insidental Revenue (Ghanimah
dan Fai’) maupun Permanent Revenue (Kharaj, Jizyah, Ushr, dan
Shadaqah/Zakat) dijelaskan secara transparan pengalokasiannya kepada
masyarakat, terutama kaitannya dengan fasilitas publik.
Transparansi
ini terwujud dalam peran dan hak asasi masyarakat dalam menyikapi tingkah laku
dan kebijakan ekonomi, baik yang berkenaan dengan nilai-nilai keadilan
(al-Adalah), kehendak bebas (al-Ikhtiyar), keseimbangan (al-Tawazun), dan
berbuat baik (al-Ikhsan).
KEUANGAN PUBLIK
Dikatakan
Abu Yusuf bahwa ghaminah (segala sesuatu yang dikuasai oleh kaum muslim dari
harta orang kafir melalui peperangan) merupakan sumber pemasukan
Negara.Pemasukan dari ghanimah tetap ada dan menjadi bagian yang penting dalam
keuangan publik.Akan tetapi, karena sifatnya yang tidak rutin, maka pos ini
dapat digolongkan sebagai pemasukan yang tidak tetap bagi Negara.
Pajak
Menurut Abu Yusuf, berikut adalah tanah yang wajib
dikenai pajak antara lain :
1. Wilayah lain (di luar Arab) di bawah kekuasaan Islam
·
Wilayah yang diperoleh melalui
peperangan.
·
Wilayah yang diperoleh melalui
perjanjian damai.
·
Wilayah yang dimiliki muslim diluar
Arab. (mebayarUsyr)
2. Wilayah yang berada di bawah perjanjian damai
·
Penduduk yang kemudian masuk Islam
(membayar Usyr)
·
Penduduk
yang tidak memeluk Islam (membayar Kharaj)
3. Tanah
taklukan
· Penduduk yang masuk Islam sebelum
kekalahan, maka tanah yang mereka miliki akan tetap menjadi milik mereka dan
harus membayar Usyr.
· Tanah taklukan tidak diserahkan dan
tetap dimiliki dzimmi, maka wajib membayar Kharaj
· Tanah yang dibagikan kepada para
pejuang, maka tanah tersebut dipungut Usyr.
· Tanah yang ditahan Negara, maka
kemungkinan jenis pajaknya adalah Usyr dan Kharaj.
Zakat
Diantara
objek pajak yang menjadi perhatiannya adalah : pertama, zakat pertanian. Jumlah
pembayaran zakat pertanian adalah sebesar usyr yaitu 10% dan 5%, tergantung
dari jenis tanah dan irigasi. Yang termasuk kategori tanah ‘usryiyah menurut
Abu Yusuf adalah :
1. Lahan yang termasuk jazirah arab,
meliputi hijaz, makkah, madinah dan yaman.
2. Tanah tandus / mati yag
dihidupkan kembali oleh orang islam.
3. Setiap tanah taklukan yang
dibagikan kepada tentara yang ikut berperang, seperti kasus tanah khaibar
4. Tanah yang diberikan kepada orang
islam, seperti tanah yang dibagikan melalui institusi iqta kepada orang-orang
yang berjasa bagi Negara.
5. Tanah yang dimiliki oleh orang
islam dari Negara, seperti tanah sebelumnya dimiliki oleh raja-raja Persia dan
keluarganya, atau tanah yang ditinggalkan oleh musuh yang terbunuh atau
melahirkan diri dari peperagan.
Kedua,
objek zakat yang menjadi perhatiannya adalah zakat dari hasil mineral atau
barang tambang lainnya.Abu yusuf dan ulama hanafiyah berpendapat bahwa standar
zakat untuk barang-barang tersebut, tarifnya seperti ganimah 1/5 atau 20% dari
total produksi.
Faiy'
Faiy’
adalah segala sesuatu yag dikuasai kaum muslimin dari harta orang kafir tanpa
peperangan, temasuk harta yang mengikutinya, yaitu kharaj tanah tersebut,
jizyah perorangan dan usyr dari perdagangan.
Semua
harta faiy’ dan harta- harta yang mengikutinya berupa kharaj, jizyah dan usyr
merupaka harta yang boleh dimanfaatkan oleh kaum muslimin dan disimpan dalam Bait
Al-Mal, semuanya termasuk kategori pajak dan merupakan sumber pendapatan
tetap bagi Negara, harta tersebut dapat dibelanjakan untuk memelihara dan
mewujudkan kemaslahatan Umat.
Usyr (Bea Cukai)
Usyr
merupakan hak kaum muslim yang diambil dari harta perdagangan ahl jimmah
dan penduduk kaum harbi yang melewati perbatasan Negara islam. Usyr dibayar
dengan cash atau barang. Abu yusuf, melaporka bahwa abu musa al- as’ari, salah
seorang gurbernur, pernah menulis kepada khalifah umar bahwa para pedagang
muslim dikenakan bea dengan tarif sepersepuluh di tanah – tanah harbi. Khalifah
umar menasehatinya untuk melakuka tiga hal yang sama dengan menarik bea dari
mereka seperti yang mereka lakukan kepada pedagang muslim.
TEORI PERPAJAKAN
1. Penggantian Sistem Misahah menjadi sistem Muqasamah
Dalam hal perpajakan, Abu Yusuf telah
meletakkan prinsip-prinsip yang jelas yang berabad-abad kemudian dikenal oleh
para ahli ekonomi sebagai canons of taxation. Kesanggupan membayar, pemberian
waktu yang longar bagi pembayar pajak dan sentralisasi pembuatan keputusan
dalam administrasi pajak adalah beberapa prinsip yang ditekankannya.
Dalam hal penetapan pajak ini, Abu Yusuf
cenderung menyetujui negara mengambil bagian hasil pertanian para penggarap
daripada menarik sewa dari lahan pertanian. Menurutnya, cara ini lebih adil dan
tampaknya akan memberikan hasil produksi yang lebih besar dengan memberikan
kemudahan dalam memperluas tanah garapan. Dengan kata lain, ia lebih
merekomendasikan penggunaan sistem Muqasamah (Proporsional Tax) daripada
Misahah (Fixed Tax) yang telah berlaku sejak masa Khalifah Umar hingga periode
awal pemerintahan Dinasti Abbasiyah.
Menurut Abu Yusuf, kondisi keungan yang ada
menuntut perubahan sistem Misahah yang sudah tidak relevan di masa hidupnya. Ia
menunjukkan bahwa pada masa pemerintahan Khalifah Umar, ketika sistem Misahah
digunakan, sebagian besar tanah dapat ditanami dan hanya sebagian kecil tanah
yang tidak bisa ditanami. Wilayah yang ditanami bersama sebagian kecil yang
tidak ditanami diklasifikasikan menjadi satu kategori dan kharaj juga dikumpulkan dari tanah yang tidak ditanami.
Di sisi lain, Abu Yusuf melihat bahwa pada
masanya ada wilayah yang tidak ditanami selama ratusan tahun dan para petani
tidak mempunyai kemampuan untuk menghidupkannya. Dalam situasi demikian, pajak
yang menetapkan ukuran panen yang pasti atau jumlah uang tunai yang pasti akan
membebani para pembayar pajak dan hal itu dapat mengganggu kepentingan keuangan
publik.
Argumen Abu Yusuf tersebut menunjukkan bahwa
jumlah pajak yang pasti berdasarkan ukuran tanah (baik yang ditanami ataupun
tidak) dibenarkan hanya jika tanah tersebut subur. Oleh karena itu, tidak
dibenarkan untuk membebani pajak yang pasti tanpa mempertimbangkan kesuburan
tanah tersebut, mengingat yang demikian itu akan mempengaruhi para pemilik tanah
yang tidak subur.
Argumen kedua dan yang paling utama dalam
menentang sistem Misahah adalah tidak adanya ketentuan apakah pajak dikumpulkan
dalam jumlah uang atau barang tertentu. Kecenderungan perubahan harga gandum
pada masa itu membuat cemas para pembayar pajak dan penguasa. Abu Yusuf
menyadari sepenuhnya dampak perubahan harga terhadap para pembayar pajak dan
pendapatan pemerintah apabila sistem Misahah diterapkan dan tarif yang pasti
dikenakan, baik dalam bentuk sejumlah uang tertentu maupun sejumlah barang
tertentu.
Perpajakan dengan menggunakan sistem Misahah, ketika pajak
dipungut dalam bentuk uang atau barang, memiliki implikasi yang serius, baik
terhadap pemerintah maupun petani. Konsekuensinya, ketika terjadi fluktuasi
harga bahan makanan, antara perbendaharaan negara dengan para petani akan
saling memberikan pengaruh yang negatif. Alasan yang diberikan oleh Abu Yusuf
dalam menentang sistem Misahah menunjukkan perhatiannya terhadap penerapan
prinsip-prinsip keadilan dan efisiensi dalam pengumpulan pajak. Di samping itu,
hal tersebut menunjukkan perhatiannya terhadap kriteria pendapatan pada saat
terjadi perubahan harga-harga bahan makanan. Menurutnyam sistem Muqasamah bebas
dari fluktuasi harga.
Abu Yusuf menekankan bahwa metode penetapan
pajak secara proporsional dapat meningkatkan pendapatan
negara dari pajak tanah dan di sisi lain, mendorong petani itu meningkatkan
produksinya.
Oleh karena itu, Abu Yusuf sangat
merokemendasikan penyediaan fasiltas infrastruktur bagi para petani. Dalam sistem
Misahah, peningkatan produktivitas tidak akan menguntungkan negara. Dalam
Muqasamah, peningkatan dalam prduktivitas akan menguntungkan keuangan negara
dan pembayar pajak sekaligus. Dukungannya terhadap penggunaan sistem Muqasamah
dalam hal penetapan pajak mengindikasikan bahwa Abu Yusuf lebih mengutamakan
hasil daripada tanah itu sendiri sebagai dasar pajak.
2. Membangun
Fleksibiltas Sosial
Selain menggolongkan tingakat pembayaran pajak berdasarkan sifat tanah, Abu
Yusuf juga membangun fleksibilitas sosial dalam hal pajak. Karena pada saat
itu, ketika konsep agama dan negara dihadapkan dengan masalah muslim dan
non-muslim. Diantara masalah tersebut adalah warga non-muslim yang diwajibkan
membayar pajak sedangkan warga muslim tidak diharuskan. Islam hanya
mengakui warga muslim yang mendapat kepastian hukum penuh, sedangkan non-muslim
tidak. Abu Yusuf dalam hal ini menyikapi perlakuan terhadap tiga kelompok yang
dianggap tidak mempunyai kapasitas hukum secara penuh, yaitu kelompok Harbi,
Musta’min, dan Zimmi.
Ketiga kelompok ini mendapat perhatian khusus dalam
pandangan Abu Yusuf, dengan memberi pemahaman keseimbangan dan persamaan hak
terhadap mereka di tengah sesuai status kewarganegaraan, sistem perekonomian
dan perdagangan, serta ketentuan hukum lainnya.Perhatian khusus tersebut
diantaranya terlihat dalam mekanisme penetapan pajak Jizyah terhadap
mereka.
3. Penghentian Praktik Sistem Qabalah
Terhadap administrasi keuangan, Abu Yusuf
mempunyai pandangan berdasarkan pengalaman praktis tentang administrasi pajak
dan dampaknya terhadap ekonomi. Penekanannya pada sifat administrasi pajak
berpusat pada penilainnya yang kritis terhadap lembaga Qabalah, yaitu sistem
pengumpulan pajak pertanian dengan cara ada pihak yang menjadi penjamin serta
membayar secara lumpsum kepada negara dan, sebagai imbalannya, penjamin
tersebut memperoleh hak untuk mengumpulkan kharaj dari para petani yang menyewa
tanah tersebut, tentu dengan pembayaran sewa yang lebih tinggi daripada sewa
yang diberikan negara.
Abu Yusuf meminta agar pemerintah segera menghentikan
praktik sitem Qabalah tersebut karena pengumpulan pajak yang dilakukan secara
langsung, tanpa keberadaan pihak penjamin, akan mendatangkan pemasukan yang
lebih besar. Menurutnya, agar dapat memperoleh keuntungan dari kontrak qabalah,
biasanya pihak penjamin mengenakan pajak yang melebihi kemampuan para petani.
Penolakan Abu Yusuf tersebut disebabkan sistem
Qabalah bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan dan mengabaikan kemampuan
membayar. Dalam menejar keuntungan, para penjamin biasanya memberikan beban
tambahan terhadap para petani dengan menerapkan beban ilegal yang melampaui
batas kemampuan mereka. Dengan menerapkan pandangan analitis dan logika
hukumnya, Abu Yusuf berpendapat bahwa perlakuan kasar terhadap para petani dan
pengenaan pajak ilegal mereka tidak saja akan merusak produksi pertanian,
tetapi juga pendapatan negara yang mayoritas berasal dari pajak kharaj.
Bagi Abu Yusuf, tindakan para penjamin yang
mengenakan pajak melebihi dari kemampuan para petani akan memaksa para petani
meninggalkan lahan mereka karena tidak memperoleh keuntungan dari pertanian.
Oleh karena sistem Qabalah dapat menimbulkan tidak eksplotatif dan penindasan
terhadap para petani serta menyebabkan efek negatif terhadap pendapatan pajak,
Abu Yusuf mendesak pemerintah menghentikan praktik tersebut, sehingga pajak
dapt dipungut langsung dengan cara yang adil, tanpa perantara para penjamin.
Abu Yusuf menegaskan penentangannya terhadap
pengenaan tingkat pajak yang berbeda-beda yang dilakukan oleh para pemungut
pajak. Oleh karena itu, ia menyatakan secara pasti bahwa tidak ada seorang
administrator pajak pun yang diberi wewenang untuk membebaskan seseorang dari
kewajiban kharaj tanpa memiliki kewenangan umum untuk melakukannya. Meskipun
menekankan perlunya suatu administrasi pajak yang efisien dan jujur, Abu Yusuf
menyarankan agar dilakukan penyelidikan terhadap perilaku para pemungut pajak.
4. Keadilan dan Efisiensi Administrasi Pajak
Di samping itu, untuk melindungi keuntungan
para pembayar pajak dan menjamin pendapatan Negara, Abu Yusuf meminta kepada
pemerintah untuk melakukan survey secara tepat terhadap tanah dan nilai barang
yang dikenai pajak. Ia berpendapat, pajak harus ditentukan dengan jelas dan
tidak berdasarkan dugaan.
Untuk mencapai prinsip keadilan dalam
administrasi pajak, Abu Yusuf menyarankan agar para penguasa membedakan antara
tanah yang tandus dengan tanah yang subur. Selain itu, untuk menjamin efisiensi
dalam pemungutan pajak, ia menyarankan agar pajak dipungut tanpa penundaan
karena akan menimbulkan kerusakan pada hasil pertanian yang berarti dapat
memberikan efek negatif terhadap negara, pembayar pajak serta memperlambat
perkembangan pertanian.
Di sini, Abu Yusuf memberikan perhatian
tentang efisiensi dalam administrasi pajak untuk menjamin barang-barang yang
dapat dikenai pajak. Fakta menunjukkan bahwa defisiensi dan mismanagement yang
dilakukan oleh sebagian para pemungut pajak akan merusak hasil panen dan
mengurangi pendapatan pajak Negara. Dalam hal terjadi instabilitas harga-harga
bahan makanan, Abu Yusuf menyarankan agar bahan makanan dijual dan harganya
dibagi secara proporsional, sehingga tidak berdampak negatif terhadap para
pembayar pajak dan perbendaharaan negara.
D. Mekanisme Harga
Abu Yusuf tercatat sebagai ulama terawal yang
mulai menyinggung mekanisme pasar. Ia misalnya memperhatikan peningkatan dan penurunan
produksi dalam kaitannya dengan perubahan harga.
Fenomena yang terjadi pada masa Abu Yusuf
adalah, ketika terjadi kelangkaan barang maka harga akan cenderung lebih
tinggi, sedangkan pada saat barang tersebut melimpah, maka harga cenderung
untuk turun atau lebih rendah.
Dengan kata lain, pemahaman pada zaman Abu
Yusuf tentang hubungan antara harga dan kuantitas hanya memperhatikan kurva demand.
Fenomena umum inilah yang kemudian dikritisi oleh Abu Yusuf.
Dalam literatur kontemporer, fenomena yang berlaku pada masa Abu
Yusuf dapat dijelaskan dalam teori permintaan.Teori ini menjelaskan hubungan antara harga
dengan banyaknya quantity yang diminta.
Pengaruh harga terhadap jumlah permintaan
suatu komoditi adalah negatif, apabila P
maka Q begitu sebaliknya apabila
P maka Q
. Kita dapat menyimpulkan bahwa hukum permintaan menyatakan bila harga
komoditi naik maka akan direspon oleh penurunan jumlah komoditi yang dibeli.
Begitu juga apabila harga komoditi turun maka akan direspon oleh konsumen
dengan jumlah komoditi yang dibeli.
Abu Yusuf membantah pemahaman seperti ini,
karena pada kenyataannya tidak selalu terjadi bahwa bila persediaan barang
sedikit maka harga harga akan mahal, dan bila persediaan barang melimpah, harga
akan murah. Ia menyatakan,
“Kadang-kadang
makanan berlimpah, tetapi mahal dan kadang-kadang makanan sangat sedikit tetapi
murah”
Menurut Abu Yusuf, dapat saja harga-harga tetap mahal (P3)
ketika persediaan barang melimpah (Q3), sementara harga akan murah
walaupun persediaan barang berkurang (Q3). Dari pernyataan tersebut
tampaknya Abu Yusuf menyangkal pendapat umum mengenai hubungan tebalik antara
persediaan barang (supply) dan harga, karena pada kenyataannya harga
tidak bergantung pada permintaan saja, tetapi juga bergantung pada kekuatan
penawaran.Oleh karena itu peningkatan atau penurunan harga tidak selalu
berhubungan dengan peningkatan atau penurunan permintaan, atau penurunan atau
peningkatan dalam produksi. Abu Yusuf menyatakan,
“Tidak ada batasan tertentu tentang murah dan mahal yang dapat
dipastikan.Hal tersebut ada yang mengaturnya.Prinsipnya tidak bisa
diketahui.Murah bukan karena melimpahnya makanan, demikian juga mahal tidak
disebabkan karena kelangkaan makanan, murah dan mahal merupakan ketentuan
Allah.”
Dalam hukun penawaran terhadap barang
dikatakan bahwa hubungan antara harga dengan banyaknya komoditi yang ditawarkan
mempunyai kemiringan positif. Pengaruh harga terhadap jumlah permintaan suatu
komoditi adalah positif, apabila apabila P
maka Q begitu sebaliknya apabila
P maka Q
. Kita dapat menyimpulkan bahwa hukum penawaran mengatakan bila harga
harga komoditi naik maka akan direspon oleh penambahan jumlah komoditi yang ditawarkan.
Begitu juga apabila harga komoditi turun maka akan direspon oleh penurunan
jumlah komoditi yang ditawarkan.
Di lain pihak Abu Yusuf juga menegaskan bahwa
ada beberapa variabel lain yang mempengaruhi, tetapi dia tidak menjelaskan
lebih rinci. Bisa jadi variabel itu adalah pergeseran dalam permintaan atau
jumlah uang yang beredar di suatu negara, atau penimbunan dan penahanan barang,
atau semua hal tersebut.
Karena Abu Yusuf tidak membahas lebih rinci
apa yang disebutkannya sebagai variabel lainm ia tidak menghubugkan fenomena
yang diobservasinya terhadap perubahan dalam penawaran uang. Namun,
pernyataannya itu tidak menyangkal pengaruh dari permintaan dan penawaran dalam
penentuan harga. Menurut beberapa pengamat, ucapan Abu Yusuf tersebut harus diterima
sebagai pernyataan hasil pengamatannya saat itu, yakni keberadaan yang
bersamaan antara melimpahnya barang dan tingginya harga serta kelangkaan barang
dan harga rendah.
Poin kontroversial lain dalam análisis ekonomi
Abu Yusuf ialah pada masalah pengendalian harga (ta’sir). Ia menentang penguasa
yang menetapkan harga. Argumennya
didasarkan [ada hasits Rasullullah SAW,
“Pada masa Rasulullah SAW, harga-harga melambung tinggi.Para sahabat mengadu kepada Rasulullah dan
memintanya agar melakukan penetapan harga. Rasulullah SAW bersabda,
tinggi-rendahnya harga barang merupakan bagian dari ketentuan Allah, kita tidak
bisa mencampuri urusan dan ketetapan-Nya”
Penting
diketahui, para penguasa pada periode itu umumnya memecahkan masalah kenaikan
harga dengan menambah suplai bahan makanan dan mereka menghindari control
harga. Kecenderungan yang ada dalam pemikiran ekonomi Islam adalah membersihkan
pasar dari praktik penimbunan, monopoli, dan praktik korup lainnya dan kemudian
membiarkan penentuan harga kepada kekuatan permintaan dan penawaran. Abu Yusuf
tidak dikecualikan dalam hal kecenderungan ini.
Sumber :
http://www.academia.edu/4962055/BAB_I-III_SPEI_ABU_YUSUF
Sumber :
http://www.academia.edu/4962055/BAB_I-III_SPEI_ABU_YUSUF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar